Adegan 1
Ada sebuah sekolah asrama “International Enermous” yang terletak di antara kota Aatech dan Desa Bautech. Di sekolah asrama itu ada seorang siswi yang sangat pintar tapi memiliki sifat yang angkuh dan tidak mau berbagi ilmu kepada teman-temannya. Ia biasa dipanggil Gabrielle.
Suatu hari, Gabrielle sedang berjalan. Kelly dan Michelle mencegatnya..
Kelly : “Gab, bisa bantu aku gak? Aku gak ngerti caranya.” (sambil menyerahkan
bukunya dan menunjuk soal yang ditanya)
Michelle : “Iya, aku juga gak ngerti.” (menimpali)
Gabrielle : “Ya ampun! Itu mah gampang, masa gak bisa? Huhh.. PAYAH!!” (ketus)
Kelly : “Tapi aku emang bener-bener gak bisa. Ayolah bantu..” (memohon)
Gabrielle : “Hufft.. aku lagi sibuk nih. Kerjain sendiri aja deh.” (sombong)(berlalu pergi)
Kelly : “Uhh.. sombong banget tuh si Gabrielle!” (menghentakkan kakinya ke
tanah)(kesal)
Michelle : “Mentang-mentang udah pinter gak mau ngajarin! Huhh..” (ikut kesal)
(Emily menghampiri mereka...)
Emily : “Hey! Ade ape? Hemm.. dari tampangnya udah ketauan. Lagi kesel ya?”
Michelle : “Biasa lah.. pasti sama anak belagu GABRIELLE!!” (mengepalkan tangannya)
Emily : “Oh macam itu.. Dari dulu juga tetep saje begitu. Yang sabar saje lah
ya.” (menenangkan)
Kelly : “Ah yauda lah yuk ke kantin aja!”
(Michelle dan Kelly hanya manggut-manggut, tapi kekesalannya masih bertahan)(Emily hanya tersenyum, dia memang anak yang tidak mudah marah malah tidak pernah marah)
Adegan 2
Gabrielle menyeret langkahnya ke kamar. Ia belajar Fisika sambil bersandar. Saking lelahnya, ia tertidur dan bermimpi..
(beberapa orang menari sambil merentangkan kainnya)
Dalam mimpinya, Murid-murid International Enermous sedang mengerjakan test dan ruangan sedang sunyi, terdengar bisik-bisik.
Mutia : “Ssst.. Ca, nomor 3 weh!” (berbisik)(sambil melirik ke arah guru)
Caca : “Apaaaa??”
Mutia : “NOMOR TIGA BEGO!!”
Guru : “Ssst!!” (berbalik menatap murid-murinya)(tadinya melihat ke arah lain)
(Gurunya menoleh ke arah lain lagi)
Mutia : “Ah dasar nenek lampir!” (ke arah guru)(guru menengok)
Gabrielle : (menoleh ke Emily) “Emil, Emil.. nomor 3?” (sambil was was)
Emily : “Hah? Nomor 3 kenape??”
Gabrielle : “Aduuh.. serius! Jawabannya apa?” (mengharap)
Emily : “C..c..charly charly.” (pasrah)
Gabrielle : “Thank you.”
Emily : “Gab..Gab..nomor 13 ape?”
Kelly : “Iya, Gab. 13”
Gabrielle : “Hah? Gatau deh.. aku lagi sibuk.” (masa bodo)
Michelle : “Ayolah, Gab. Kasih tau ini aja. Please..” (memohon)
Tiba-tiba gurunya nengok..
Guru : “Hey kalian ngapain tengak-tengok!?” (galak banget)
Gabrielle : “Iya, bu. Tadi Emily, Kelly, dan Michelle nanya sama saya nomor 13 apa.
Maksa juga.” (polos)
Guru : (mengambil kertas ulangan mereka bertiga lalu merobeknya tanpa banyak
bicara) “Kalian sekolah di sekolah terfavorit, gak pantes NYONTEK!! Harusnya kalian MALU!!”
Emily : “Ta..tapi tadi Gab...” (terpotong)(berusaha mengutarakan maksudnya
bahwa Gabrielle juga nyontek)
Guru : “MAJU!!” (telunjuknya menunjuk ke arah papan tulis)
(Emily, Kelly, dan Michelle berjalan ke depan sambil melirik ke arah Gabrielle dengan pandangan marah dan kesal)
Guru : “Pegang kedua telinga lalu angkat satu kaki SAMPAI BEL PULANG!”
(sambil menekuk kedua tangannya di dada)
E, K, M : “Haahh?? 0_0
Guru : “Apa!! Hah heh hah heh??”
Mutia : “Buset dah! Betisnya bekonde itu!!” (ceplos)
Caca : “Buahahahahhhaa!!! :D
Guru : “DIAM KALIAN!”
(Dan kelas pun serentak sunyi mendengar suara Bu Guru bak mendengar geledek)
(Tak lama setelah itu)
Guru : “Ayo kumpulkan kertas jawaban kalian..”
Adegan 3
Setelah bel pulang..
Kelly : “Gila!! Pegel bener kaki gua..!! Sial tuh Gabrielle!!” (memijiti kakinya)
Emily : “Hemm.. yaudah lah. Gabrielle emang begitu kan?” (berexpresi biasa saja)
Michelle : “Yeeh, lu mah gak ada marahnya, mile. Emang gak kesel ape?” (sambil emosi)
Emily : (tersenyum) “Nanti juga dibalas sama Allah kok.”
Tiba-tiba Mutia datang..
Mutia : “Hey, ada apa nih?” (tersenyum takut karena ia sadar bahwa ia tadi mengejek
mereka di kelas)
Kelly : “Ada apa ada ape?! Kaga liat nih kaki pegel pada encok?!” (cemberut)
Michelle : “Ta lu! Mana tadi lu ngejek kita sgala!”
Mutia : “Yah maap.” (cengar-cengir)
Michelle dan Kelly diam saja.. Tapi akhirnya..
Kelly : “Eh, gue punya ide. Gue punya kenalan, orang-orang memanggilnya
Madame!”
Mutia : “Trus mau ngapain?”
Kelly : “Yaa.. coba kita pergi ke rumahnya aja dan minta solusi buat ngasih
pelajaran ke Gabrielle! Biasanya orang-orang kalo ada masalah, larinya ke sana. Kali aja dia bisa bantu.”
Mutia : “kalo gitu gue ikut!!” (cengar-cengir lagi)
(Mereka berempat setuju)
Adegan 4
Mereka menuju rumah Madame yang tidak jauh dari asrama.. Sampai di depan pintu rumah Madame.. (Sebelum Kelly membuka pintu, Madame sudah membukanya)
E, K, M, M : “Huaaa!!” (kaget)
Madame : “Selamat Datang, anak-anakku!” (tersenyum) “Ayo masuk lah.”
Emily, Kelly, Mutia, dan Michelle masuk dan dipersilahkan duduk. Kelly pun menceritakan pokok permasalahannya dan Madame mendengarkannya dengan antusias.
Madame : “Mana fotonya!?” (terlihat misterius)
Emily : “Macam ini, mbah..” (memperlihatkan fotonya)
Madame : “HAH! Kamu bilang apa toh?? Mbahmu!!” (memukul meja)
Emily : (menahan tawa) “Ups.. Ma..maaf, madame. Hihi” (teman-teman lainnya
tertawa pula)
Mutia : “Hahahahaa!! Mbah?? Hihihi.” (meledek)
Madame memejamkan matanya sambil memegang foto lalu ia menaruh sesuatu seperti ulekan bunga atau daun yang sangat bau di foto Gabrielle tepatnya di ketiak Gabrielle.
Emily : “Apa itu, mbah? Eh..madame.” (menutup mulutnya)
Madame : “Liat saja besok!” (ketus ke Emily)(Menyerahkan foto itu ke Kelly)
Kelly : “Terima kasih ya, madame.” (beranjak ingin pulang)
Tapi, sebelum pulang Madame mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya. Kelly dan teman-temannya bingung. Kelly pun tidak tau kalau Madame itu minta bayaran.
Michelle : “Lu gak bilang kalo dia minta bayaran! Gue kira gratis.” (bisik Miche pd Kelly)
Kelly : “Tenang saje lah..” (sambil senyum-senyum sendiri)(Kelly memberikan
amplop pada Madame)
Madame mengucapkan terima kasih. Kelly mengajak teman-temannya untuk segera pulang.
(Kelly cs sudah di luar)
Madame : “Woooyyy!!! Anak-anak kurang ajar! Ngasih amplop kosong! Kualat kalian!!”
(berteriak dari dpan rumahnya, sedangkan mereka sudah jauh di sana) “Wooooooooooooooyyyyy..........!!!!!!!!”
Michelle : “Hahahahha!!! Beneer2 gila lu! Ckckck..” (heran kepada Kelly)
Emily : “Tapi gue salut. Hahaha!!”
Mutia hanya cengar-cengir dan itu memang kerjaannya.
Adegan 5
Esok harinya di sekolah. Saat Bu Guru ingin mengakhiri pelajarannya..
Guru : “Baiklah, ada yang mau bertanya??”
(Gabrielle menujuk tangan dan tiba-tiba seluruh anak menutup hidungnya)(Gabrielle heran lalu mencium ketiaknya dan oo..oo.. ia segera menurunkan tangannya sambil melotot)
Mutia : “Buset dah!! Bau banget nih..!”
Caca : “Bau jengkol apa bau apaan nih??”
(Guru juga menutup hidung)
Mutia : “Bau banget ya, Kell??” (menepuk pundak Kelly)
Emily : “Eh..eh kodok kodok!! iye iye bau.” (latah)
Kelly : “Keluar aja yoookk!!” (teman-teman mengikutinya)
Kelas gaduh, semua berhamburan keluar dan hanya Gabrielle seorang diri.
[ Y U I - T o k y o ]
Gabrielle : (Masih heran) “Kenapa tiba-tiba badanku seperti ini?? Apa salahku?!
Apakah ini sebuah azab?? Ta..tap..ttapi kenapa harus aku!!??” (mulai menangis hiks hiks)(sedih)
(Ia mengingat-ngingat apa yang telah diperbuat olehnya sampai badannya seperti ini, padahal ia sudah mandi)
“Oh! Mungkin gara-gara itu...gara-gara kejadian itu!! Aku terlalu sombong dan angkuh terhadap teman-teman!”
Ia beranjak dari kursinya dan mencari teman-temannya keluar..
Adegan 6
Emily : “Eh kok si Gabrielle masih tidur dah??” (Emily cs jauh dari Gabrielle jarakny)
Kelly : “Ah iya!! Uh dasar tuh anak.. kita bangunin yuk!”
Michelle : “Gab! Gab!! Bangun.. mau sekolah gak lu?!”
Mutia : “Guyur aja pake aer!” (ketawa)
Kelly : “Aih gila lu! Ntar ngamuk diaaaa..”
Mereka mendekati Gabrielle dan membangunkannya.
Gabrielle kaget dan melonjak bangun. Ia super kaget. Emily, Mutia, Michelle, dan Kelly sudah ada di sekitarnya. Tanpa sadar, air matanya jatuh..
[ t a y l o r - y o u b e l o n g w i t h m e ]
Gabrielle : “Kelly, Michelle, Emily!! Maafkan aku teman-teman!” (memeluk)
Mutia : “Loh? Kok gua kok gak dianggep?” (cemberut)
Gabrielle : “Eh.. oh.. iya deh. Maafin gue juga ya, Mut!” (bingung karena ia tidak merasa
punya salah sama Mutia, lebih-lebih ia habis bangun tdur)
Michelle : “Ah? Memangnya kenapa?” (bingung)
Kelly : “Mimpi apa kao?”
Gabrielle : “Hiks..hiks.. ceritanya panjang. Mimpinya buruk sekali tapi mimpi itu juga
menyadarkanku tentang apa yang telah kuperbuat.” (merenung)
“Sekali lagi aku minta maaf! Aku sungguh-sungguh minta maaf. Selama ini aku telah angkuh dan sombong terhadap kalian. Tapi mulai saat ini aku berjanji untuk membantu kalian jika kalian memerlukan bantuanku!”
Emily : “Tak ape lah, kami udah memaafkanmu. Jangan terlalu dipikirkan..”
(mengibaskan tangannya)(tersenyum)
Mutia : “Eh, ngomong-ngomong ini bau apa ya?” (menutup hidungnya)
Kelly & Emily : “Eh, iya. Baunya aneh..” (ikutan menutup hidung)
Gabrielle teringat akan mimpi barusan.. Ia mencium kedua ketiaknya dengan hati-hati dan...
AaaaAaaaaAaaaarrrrgghhh.........!?!?!?!?!?!?
(Semua berbaris membentuk horizontal)
Kini Gabrielle sudah merubah sikapnya itu, mereka saling membantu satu sama lain. Amanat yang diambil dari cerita ini ialah jangan bertingkah angkuh dan sombong jika mempunyai kelebihan tersendiri dari yang lain karena setiap perbuatan yang manusia lakukan, pasti akan ada balasannya. Dan balasannya itu telah membuat Gabrielle sadar akan kelakuannya walaupun hanya dalam mimpi.. Sisi positif yang harus kita contoh dari Gabrielle yaitu terus belajar, sehingga ia menjadi anak terpintar di sekolahnya. Karena dengan menuntut ilmu, cita-cita akan tercapai.
Selasa, 16 November 2010
MENGHAFAL VS MEMAHAMI
Anak baru itu baru 2 minggu sekolah di sini. Ia pandai bergaul dengan orang lain, termasuk dengan guru-guru. Tapi tidak dengan Pak Guntur, guru Fisika mereka.
“Weh.. ada Pak Geledek!! Masuk..masuk!!”, seru Anggi, sang ketua kelas. Dengan segera semua anak berlarian menyambar ke tempatnya masing-masing. Tapi si anak baru itu malah santai-santai saja.
Pak Guntur masuk ke dalam kelas dan membuat anak-anak diam seribu bahasa.
“Keluarkan PR-nya!”, katanya dengan nada keras sampai anak-anak terlonjak kaget. Sifatnya memang mirip dengan namanya. Mereka sering menyebutnya ‘Guru Killer’.
Anggi dengan gerakan cepat mengambil buku-buku PR teman-temannya dan segera mengumpulkannya di atas meja. Setelah itu ia duduk manis di kursinya tanpa bicara.
Hal itu tidak akan ia lakukan bila berhadapan dengan guru lain.
Jika Pak Guntur sudah masuk, suasana kelas berubah menjadi sunyi total. Tak ada satupun anak yang berani berisik. Pensil jatuh tidak akan diambil.
Ketika guru itu sedang menjelaskan pelajaran, semua mata akan mengarah ke depan. Tapi, lain halnya dengan anak baru itu di sekolah itu.
“Ngapain kamu senyam-senyum?!”, suara Pak Guntur menggelegar lagi. Matanya mengarah tajam ke salah satu murid.
“Ehm.. tidak, Pak.”, jawab Lingga sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan lagi dan masih dengan senyumnya, “Saya hanya senang bisa sekolah di sini, Pak.”
Pak Guntur kaget mendengarnya, menurutnya itu jawaban yang mengejek dan mengganggu pelajaran. Buat apa ia berpikir seperti itu pada waktu pelajaran berlangsung??
“Hanya itu?? Selama ini tidak ada anak yang berani mengganggu pelajaran saya!”, kata Pak Guntur sambil mengacung-acungkan pulpen. Itu meman kebiasaannya.
“Tapi saya tidak mengg...”, kata-kata Lingga menggantung.
“Atau kamu sudah merasa pintar?”, tanya guru itu, dengan seenaknya ia memotong perkataan muridnya. “Kalau begitu coba jelaskan apa itu Listrik!”, katanya lagi.
Lingga berdiri dan menjawab, “Ehm.. Listrik itu merupakan sumber energi, mengalir dari positif ke negatif. Disalurkannya melalui kabel. Tapi ada juga yang tidak, contohnya rambut kering digosok-gosokkan dengan penggaris plastik maka akan timbul listrik, petir juga ada listriknya, dan masih banyak contoh lagi. Kehidupan kitapun membutuhkan listrik. Kita sudah tergantung pada listrik.. Lalu....”
“Jelaskan definisinya!!”, suara Pak Guntur makin keras, ia merasa seperti diejek.
“Saya sudah menjelaskannya tadi, Pak.”, kata Lingga membela diri.
“Siapa yang bisa menjawab?!”, tanya guru itu mengalihkan pandangannya ke murid-murid yang lain. Ia menunjuk-nunjuk satu per satu murid dengan pulpennya.
“Saya, Pak!”, seru Kevin sambil menunjuk tangan. Si juara 1 itu lalu berdiri dengan yakinnya. “Kelistrikan adalah sifat benda yang muncul dari adanya muatan listrik. Listrik dapat juga diartikan sebagai kondisi dari partikel subatomik tertentu, seperti elektron dan proton, yang menyebabkan penarikan dan penolakan gaya di antaranya atau Listrik sumber energi yang disalurkan melalui kabel. Arus listrik timbul karena muatan listrik mengalir dari saluran positif ke saluran negatif.“, jelas Kevin panjang lebar. Ketara sekali ia menghafalnya dari buku. Pak Guntur tersenyum sambil bertepuk tangan mendengar jawaban Kevin. Ia merasa bangga dengan Kevin. Dan Kevinpun juga merasa bangga dengan dirinya.
“Tapi, Pak.. Saya sudah menjelaskan sama seperti yang Kevin jelaskan. Hanya kata-katanya saja yang berbeda. Intinya sama. Perbedaannya lagi, saya menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri sedangkan ia tidak.”, jelas Lingga panjang lebar sambil menunjuk Kevin.
“Bukankah penjelasan tentang Listrik sudak ada di buku?! Kau tinggal membacanya saja!”, bela Pak Guntur. Guru itu menunjuk buku yang ada di atas meja Lingga. Matanya melotot memancarkan aura galaknya. Anak-anak makin merinding.
Lingga mengambil bukunya lalu menggenggamnya di kedua tangannya dan berkata, “Saya sudah membaca buku ini, Pak. Bahkan saya sudah membaca buku-buku lain. Lalu saya rangkum dalam kata-kata saya sendiri. Bukankah kita tidak boleh terpaut pada satu buku saja? Yang penting kita memahami apa yang dijelaskan di buku, bukan menghafalnya.”
Lingga buru-buru menjawab. Ia tampak kesal dengan guru itu. Perkataannya tadi seperti menyindir Kevin ketika Lingga berkata ‘bukan menghafalnya’, Kevin memandang sinis ke arah Lingga.
Pak Guntur mulai mengeluarkan letusannya, tapi agak ditahan.
“KELUAR!”, perintah Pak Guntur. Nadanya memang sudah tidak keras lagi, tapi itu cukup membuat jantung murid-muridnya copot.
‘Apa salah Lingga? Perkataannya tadi sangatlah benar. Guru itu memang tidak mau bercermin’, kata Sekar di dalam hati. Ia ingin sekali bicara, tapi takut.
Lingga keluar kelas tanpa protes. Ia membawa tasnya keluar.
Guru itu sangat tidak bijak sekali, ia hanya terpaut pada satu buku dan menghafalkan apa yang dijelaskan di buku, bukan memahami isi buku. Apa yang akan terjadi di masa depan bila ilmu hanya dihafalkan??
Ilmu tidak akan bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan. Hasil hafalan kitapun tidak akan bertahan lama di otak, belum mencapai seminggu sudah lupa lagi.
Kelihatannya guru itu tidak mau kalah pintar dengan murid-muridnya.
Semua anak melihat kejadian itu dengan rasa kasihan tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal di hati mereka ingin sekali meluapkan protes kepada Pak Guntur yang tidak adil itu.
Sekar memperhatikan Lingga keluar kelas, ia salah satu anak murid yang juga kesal dengan guru itu.
Koridor kelas mereka luas dan banyak tanaman, membuat Lingga agak tenang. Lingga menggendong tasnya menuju kelas lain lalu berdiri di dekat jendela kelas mendengar penjelasan guru yang sedang mengajar di kelas itu, kemudian ia mencatat pokok-pokok dari apa yang dijelaskan guru.
Begitulah secara terus-menerus ia lakukan. Bila dikeluarkan dari kelas Pak Guntur, Lingga akan belajar kelas lain walaupun harus berdiri di dekat jendela. Itu lebih baik daripada hanya berdiam diri di luar kelas.
Karena baginya, belajar bisa di mana saja..
Pak Guntur terkenal dengan ketelitiannya, selama ia mengajar di sekolah tersebut belum pernah ia melakukan kesalahan dalam menjelaskan pelajaran. Tapi pada suatu hari Pak Guntur sedang tidak membicarakan tentang pelajaran Fisika..
“Kalian tahu?? Ada sebuah teori logika matematika ‘Dua kesalahan dapat menjadi satu hal yang benar’. Ini merupakan sebuah teka-teki yang dikemukakan oleh Henry Enrest Dudeney, seorang raja teka-teki zaman Victoria.”, jelas Pak Guntur.
Lingga merasa seperti ada yang salah dengan pemilik teori tersebut. Ia berpikir ulang, apakah perkataan Pak Guntur tadi benar atau tidak? Apa ia harus membetulkannya?
“Maaf, Pak. Tokoh yang mengemukakan teori Logika Matematika tersebut bukan Dudeney tapi Aristoteles. Dia seorang murid kesayangan Socrates. Dudeney memang pernah mengatakan dua kesalahan dapat menjadi satu hal yang benar, tapi itu berhubungan dengan teka-teki penjumlahan bukan logika matematika.”, protes Lingga panjang.
PLAK! Wajah Pak Guntur seperti ditampar oleh Lingga.
“Jangan asal bicara kau!”, bela pak Guntur.
“Saya tidak asal, Pak. Saya tahu dari Ensiklopedi Matematika ‘From Zero to Hero’.”, jawab Lingga.
Guru itu sadar akan kesalahannya, tapi ia tidak mau mengakui. Mukanya memerah, ia malu sekali. Baru pertama kali ada murid yang memprotesnya. Guru itu betul-betul malu, anak-anak hanya tertawa mengumpat.
Bel berbunyi. Pak Guntur menarik nafas lega dan mengakhiri pelajaran. Ia segera keluar.
Suasana kelas berubah..
“Hahahahahaaa..!! Hebat lu, ga! Bisa-bisanya lu malu-maluin dia di depan murid-murid.”, puji salah satu temannya.
Teman-teman yang lain ikut memuji. Mereka tampak puas sekali melihat kejadian tadi. Menurut mereka, itu balasan yang setimpal untuk guru seperti Pak Guntur.
Masih dengan senyumnya, Lingga melirik ke tempat duduk Kevin. Ia terlihat sinis terhadap Lingga. Kevin selalu bersaing dengannya dalam hal ‘mengejar nilai’ padahal Lingga tidak pernah mengejar nilai.
Kini Lingga dan teman-temannya makin dekat. Apalagi dengan Sekar, ia sering bercerita banyak.
“Memangnya kenapa kau sungguh ingin dapat beasiswa?”, tanya Lingga suatu hari di taman sekolah.
“Aku ingin meringankan beban orangtua. Ayahku pekerja tak tetap sedangkan Ibuku hanya Ibu rumah tangga.”, jawab Sekar sambil memikirkan kondisi keluarganya.
“Oh.. jadi kau sekolah hanya ingin dapat beasiswa. Ehm..maksudku hanya untuk mengejar nilai tinggi?”, tanya Lingga yang makin penasaran.
“Hem.. sepertinya begitu, tapi...”
“Kau tidak akan dapat apa-apa di masa depan nanti.”, Lingga memotong.
“Apa maksudmu??”, tanya Sekar penasaran, tadinya ia ingin marah karena Lingga memotong pembicaraannya.
“Ya, buat apa mencari ilmu hanya karena ingin nilai tinggi. Berarti selama ini kau hanya mengejar nilai??”
Baru saja Sekar ingin menjawab, Lingga mengoceh lagi, “Kau harus merubah itu. Sekolah itu gunanya untuk mencari ilmu, untuk kehidupan kita nanti di masa depan, bukan untuk mencari nilai belaka. Jika hanya mengejar nilai, ilmu yang akan kita dapatkan tidak akan bertahan lama. Sama seperti menghafal pelajaran, belum mencapai seminggu sudah lupa lagi.”
Sekar merenung..
“Tapi anak-anak lain juga melakukan hal seperti itu.”, bela Sekar.
“Kau jangan mengikuti yang lain! Ikutilah diri sendiri, berusahalah menggapai cita-citamu. Dan kuasai ilmunya. Nikmatilah ilmu pengetahuan, bila hanya mengejar nilai, kita tidak akan bisa menikmati indahnya ilmu pengetahuan.”, ucapan Lingga makin meluas.
“Kau boleh meginginkan beasiswa, tapi jangan pernah mengejar nilai! Beasiswa merupakan suatu kesuksesan belajar. Kau cukup memahami pelajaran, pahami ilmunya, jangan pernah menghafalkan pelajaran, maka kesuksesan akan mencarimu..”, jelas Lingga lagi. Ia merawang jauh ke depan sehingga bisa merangkai kata-kata yang panjangnya mengalahkan kereta api itu.
Sekar merenung, perkataan Lingga tadi benar. Dengan memahami pelajaran, ilmu yang akan kita dapatkan akan bertahan lama karena kita sudah menguasainya.
Baru saja Sekar ingin mengucapkan ‘Terima kasih’, bel sudah bernyanyi lagi..
Ada satu hal yang Lingga pikirkan. Mengapa Kevin bisa mendapat rank 1 padahal ia jarang sekali mengerjakan tugas. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan Kevin. Ia memang anak orang berada, jadi ia mungkin saja me...
Ah! Mengapa Lingga berpikiran buruk seperti itu??
Bila itu benar, mengapa pihak sekolah berbuat seperti itu? Padahal itu sekolah favorit.
Lingga jadi bertanya-tanya sendiri. Ia sedang berjalan sendirian. Ia tidak menyadari bahwa ia ada di depan ruang guru.
“Kami hanya punya sedikit, Pak. Mohon bantuannya ya, Pak.”, Lingga secara tidak sengaja mendengar percakapan antara orangtua dengan Pak Guntur. Ia mengumpat di balik tembok dan mendengar percakapan selanjutnya.
Lingga kaget, ia tidak menyangka akan pendengarannya. Tiba-tiba Kevin muncul dibelakangnya..
“Ngapain lu?”, tanyanya sinis. Kevin menyeret Lingga menuju ke belakang sekolah. Ia melihat Lingga nguping di balik tembok depan ruang guru tadi.
Lingga bingung. Ia hanya diam. Kevin bertanya padanya dengan melotot, “Dengar apa aja lu tadi?!”
“Tadi gue gak sengaja denger ta...”
BOOKK!! Sebuah bogem mentah mendarat di perut Lingga. Lingga kaget sekali, ia tidak menyangka Kevin akan berbuat seperti itu. Perutnya mual dan ingin muntah, rasanya semua isi perutnya ingin ia muntahkan.
Sekar dan beberapa teman lainnya melihat kejadian itu, mereka ingin melerai.
Lingga terpancing untuk marah, ia balik menarik kerah kemeja Kevin dan...
“Hey! Sedang apa kalian?!”, teriak Pak Guntur yang tiba-tiba datang. Padahal Lingga sudah menyiapkan bogemnya untuk Kevin. Dan Pak Guntur melihatnya.
Mereka berdua kaget. Kevin memelas, “Pak, dia ingin memukul saya! Apa salah saya?! Tiba-tiba saja dia mengajak saya ke sini sambil marah-marah. Untung saja bapak segera datang.”, katanya sambil membetulkan kerah kemejanya. Ketakutannya dibuat-buat.
Kevin menjauh dari Lingga. Lingga tidak bisa bicara apa-apa, dia sungguh-sungguh tidak menyangka akan seperti ini. Padahal bukan ia yang mengajak Kevin ke sini. Lingga ingin sekali menceritakan yang sebenarnya..
“Lingga! Kevin! Ikut saya ke ruang KEPALA SEKOLAH sekarang!!”, teriak Pak Guntur sambil menarik telinga Lingga dan Kevin.
“Saya betul-betul tidak melakukan hal itu, Pak!”, kata Lingga membela kebenaran. Tapi Pak Guntur berkata, “Saya melihat Lingga yang ingin memukul Kevin.”
Lingga kaget luar biasa, ternyata perkataannya tidak dipercaya oleh orang-orang. Ini merupakan kesempatan Pak Guntur untuk membalas Lingga yang telah mempermalukannya beberapa hari lalu di depan anak-anak. Guru itu memang licik! Padahal ia tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya, ia memilih menuduh Lingga.
Lingga pasrah, tidak ada saksi atas kejadian tadi. Ia diskor selama 2 minggu.
“Saya punya bukti yang kuat mengenai kejadian itu, Pak.”, kata Sekar sambil mengeluarkan rekaman video yang ia rekam saat Lingga dan Kevin berada di belakang sekolah. Tapi ia tidak merekam saat Lingga menarik kerah Kevin.
Kini terbukti Kevinlah yang memulai pertarungan. Orangtua Kevin dipanggil Kepala Sekolah. Sekarang, pihak sekolah percaya akan perkataan Lingga.
Tentang kejadian di ruang guru itu.. ya! Lingga juga menceritakannya pada Kepala Sekolah. Pihak Sekolah sama sekali tidak mengetahui kejadian itu, mereka bahkan tidak yakin bahwa Pak Guntur yang disiplin itu menerima amplop dari orangtua Kevin.
Pihak Sekolah berusaha mencari kebenarannya.
Akhirnya Pak Guntur di keluarkan dari sekolah..
Maka dari itu, jangan sekali-kali membuat pelanggaran di sekolah tersebut. Akibatnya sangat fatal!
Ulangan Fisika kali ini, Sekar mendapat nilai 100. Pak Guru Fisika yang baru memberinya hadiah berupa...
“Sekar! Bangun, tidak sekolahkah kau?”, Ibu membangunkannya.
“Uhm..”, Sekar masih pusing. “Hah?? Mana hadiahnya??”, Sekar terlonjak girang.
“Eeh.. kau mimpi, ya? Ayo cepat mandi. Sudah pukul berapa ini..”
‘Ah? Ternyata itu semua hanya mimpi’, benaknya. Sekar bergegas mandi.
Saat sampai di sekolahpun ia masih mengingat mimpinya tadi. Bel bernyanyi.. Anak-anak duduk di tempatnya masing-masing. Ketika Pak Guru wali kelas masuk..
“Hari ini kita kedatangan teman baru yang akan bersekolah di sini. Ayo perkenalkan namamu..”, kata Pak Guru baik.
“Teman-teman, perkenalkan.. Nama saya Lingga...”
Belum selesai anak baru itu memperkenalkan dirinya, Sekar terlonjak kaget luar biasa. Anak baru itu wajahnya sama persis seperti Lingga dalam mimpi Sekar, namanya juga sama!
Dalam mimpinya saat ia ada di taman, ia tiba-tiba ingat sesuatu yang ingin ia ucapkan.
Sekar berteriak histeris padanya, “Linggaaaa!! Terima kasih ya!”
“Weh.. ada Pak Geledek!! Masuk..masuk!!”, seru Anggi, sang ketua kelas. Dengan segera semua anak berlarian menyambar ke tempatnya masing-masing. Tapi si anak baru itu malah santai-santai saja.
Pak Guntur masuk ke dalam kelas dan membuat anak-anak diam seribu bahasa.
“Keluarkan PR-nya!”, katanya dengan nada keras sampai anak-anak terlonjak kaget. Sifatnya memang mirip dengan namanya. Mereka sering menyebutnya ‘Guru Killer’.
Anggi dengan gerakan cepat mengambil buku-buku PR teman-temannya dan segera mengumpulkannya di atas meja. Setelah itu ia duduk manis di kursinya tanpa bicara.
Hal itu tidak akan ia lakukan bila berhadapan dengan guru lain.
Jika Pak Guntur sudah masuk, suasana kelas berubah menjadi sunyi total. Tak ada satupun anak yang berani berisik. Pensil jatuh tidak akan diambil.
Ketika guru itu sedang menjelaskan pelajaran, semua mata akan mengarah ke depan. Tapi, lain halnya dengan anak baru itu di sekolah itu.
“Ngapain kamu senyam-senyum?!”, suara Pak Guntur menggelegar lagi. Matanya mengarah tajam ke salah satu murid.
“Ehm.. tidak, Pak.”, jawab Lingga sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan lagi dan masih dengan senyumnya, “Saya hanya senang bisa sekolah di sini, Pak.”
Pak Guntur kaget mendengarnya, menurutnya itu jawaban yang mengejek dan mengganggu pelajaran. Buat apa ia berpikir seperti itu pada waktu pelajaran berlangsung??
“Hanya itu?? Selama ini tidak ada anak yang berani mengganggu pelajaran saya!”, kata Pak Guntur sambil mengacung-acungkan pulpen. Itu meman kebiasaannya.
“Tapi saya tidak mengg...”, kata-kata Lingga menggantung.
“Atau kamu sudah merasa pintar?”, tanya guru itu, dengan seenaknya ia memotong perkataan muridnya. “Kalau begitu coba jelaskan apa itu Listrik!”, katanya lagi.
Lingga berdiri dan menjawab, “Ehm.. Listrik itu merupakan sumber energi, mengalir dari positif ke negatif. Disalurkannya melalui kabel. Tapi ada juga yang tidak, contohnya rambut kering digosok-gosokkan dengan penggaris plastik maka akan timbul listrik, petir juga ada listriknya, dan masih banyak contoh lagi. Kehidupan kitapun membutuhkan listrik. Kita sudah tergantung pada listrik.. Lalu....”
“Jelaskan definisinya!!”, suara Pak Guntur makin keras, ia merasa seperti diejek.
“Saya sudah menjelaskannya tadi, Pak.”, kata Lingga membela diri.
“Siapa yang bisa menjawab?!”, tanya guru itu mengalihkan pandangannya ke murid-murid yang lain. Ia menunjuk-nunjuk satu per satu murid dengan pulpennya.
“Saya, Pak!”, seru Kevin sambil menunjuk tangan. Si juara 1 itu lalu berdiri dengan yakinnya. “Kelistrikan adalah sifat benda yang muncul dari adanya muatan listrik. Listrik dapat juga diartikan sebagai kondisi dari partikel subatomik tertentu, seperti elektron dan proton, yang menyebabkan penarikan dan penolakan gaya di antaranya atau Listrik sumber energi yang disalurkan melalui kabel. Arus listrik timbul karena muatan listrik mengalir dari saluran positif ke saluran negatif.“, jelas Kevin panjang lebar. Ketara sekali ia menghafalnya dari buku. Pak Guntur tersenyum sambil bertepuk tangan mendengar jawaban Kevin. Ia merasa bangga dengan Kevin. Dan Kevinpun juga merasa bangga dengan dirinya.
“Tapi, Pak.. Saya sudah menjelaskan sama seperti yang Kevin jelaskan. Hanya kata-katanya saja yang berbeda. Intinya sama. Perbedaannya lagi, saya menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri sedangkan ia tidak.”, jelas Lingga panjang lebar sambil menunjuk Kevin.
“Bukankah penjelasan tentang Listrik sudak ada di buku?! Kau tinggal membacanya saja!”, bela Pak Guntur. Guru itu menunjuk buku yang ada di atas meja Lingga. Matanya melotot memancarkan aura galaknya. Anak-anak makin merinding.
Lingga mengambil bukunya lalu menggenggamnya di kedua tangannya dan berkata, “Saya sudah membaca buku ini, Pak. Bahkan saya sudah membaca buku-buku lain. Lalu saya rangkum dalam kata-kata saya sendiri. Bukankah kita tidak boleh terpaut pada satu buku saja? Yang penting kita memahami apa yang dijelaskan di buku, bukan menghafalnya.”
Lingga buru-buru menjawab. Ia tampak kesal dengan guru itu. Perkataannya tadi seperti menyindir Kevin ketika Lingga berkata ‘bukan menghafalnya’, Kevin memandang sinis ke arah Lingga.
Pak Guntur mulai mengeluarkan letusannya, tapi agak ditahan.
“KELUAR!”, perintah Pak Guntur. Nadanya memang sudah tidak keras lagi, tapi itu cukup membuat jantung murid-muridnya copot.
‘Apa salah Lingga? Perkataannya tadi sangatlah benar. Guru itu memang tidak mau bercermin’, kata Sekar di dalam hati. Ia ingin sekali bicara, tapi takut.
Lingga keluar kelas tanpa protes. Ia membawa tasnya keluar.
Guru itu sangat tidak bijak sekali, ia hanya terpaut pada satu buku dan menghafalkan apa yang dijelaskan di buku, bukan memahami isi buku. Apa yang akan terjadi di masa depan bila ilmu hanya dihafalkan??
Ilmu tidak akan bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan. Hasil hafalan kitapun tidak akan bertahan lama di otak, belum mencapai seminggu sudah lupa lagi.
Kelihatannya guru itu tidak mau kalah pintar dengan murid-muridnya.
Semua anak melihat kejadian itu dengan rasa kasihan tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal di hati mereka ingin sekali meluapkan protes kepada Pak Guntur yang tidak adil itu.
Sekar memperhatikan Lingga keluar kelas, ia salah satu anak murid yang juga kesal dengan guru itu.
Koridor kelas mereka luas dan banyak tanaman, membuat Lingga agak tenang. Lingga menggendong tasnya menuju kelas lain lalu berdiri di dekat jendela kelas mendengar penjelasan guru yang sedang mengajar di kelas itu, kemudian ia mencatat pokok-pokok dari apa yang dijelaskan guru.
Begitulah secara terus-menerus ia lakukan. Bila dikeluarkan dari kelas Pak Guntur, Lingga akan belajar kelas lain walaupun harus berdiri di dekat jendela. Itu lebih baik daripada hanya berdiam diri di luar kelas.
Karena baginya, belajar bisa di mana saja..
Pak Guntur terkenal dengan ketelitiannya, selama ia mengajar di sekolah tersebut belum pernah ia melakukan kesalahan dalam menjelaskan pelajaran. Tapi pada suatu hari Pak Guntur sedang tidak membicarakan tentang pelajaran Fisika..
“Kalian tahu?? Ada sebuah teori logika matematika ‘Dua kesalahan dapat menjadi satu hal yang benar’. Ini merupakan sebuah teka-teki yang dikemukakan oleh Henry Enrest Dudeney, seorang raja teka-teki zaman Victoria.”, jelas Pak Guntur.
Lingga merasa seperti ada yang salah dengan pemilik teori tersebut. Ia berpikir ulang, apakah perkataan Pak Guntur tadi benar atau tidak? Apa ia harus membetulkannya?
“Maaf, Pak. Tokoh yang mengemukakan teori Logika Matematika tersebut bukan Dudeney tapi Aristoteles. Dia seorang murid kesayangan Socrates. Dudeney memang pernah mengatakan dua kesalahan dapat menjadi satu hal yang benar, tapi itu berhubungan dengan teka-teki penjumlahan bukan logika matematika.”, protes Lingga panjang.
PLAK! Wajah Pak Guntur seperti ditampar oleh Lingga.
“Jangan asal bicara kau!”, bela pak Guntur.
“Saya tidak asal, Pak. Saya tahu dari Ensiklopedi Matematika ‘From Zero to Hero’.”, jawab Lingga.
Guru itu sadar akan kesalahannya, tapi ia tidak mau mengakui. Mukanya memerah, ia malu sekali. Baru pertama kali ada murid yang memprotesnya. Guru itu betul-betul malu, anak-anak hanya tertawa mengumpat.
Bel berbunyi. Pak Guntur menarik nafas lega dan mengakhiri pelajaran. Ia segera keluar.
Suasana kelas berubah..
“Hahahahahaaa..!! Hebat lu, ga! Bisa-bisanya lu malu-maluin dia di depan murid-murid.”, puji salah satu temannya.
Teman-teman yang lain ikut memuji. Mereka tampak puas sekali melihat kejadian tadi. Menurut mereka, itu balasan yang setimpal untuk guru seperti Pak Guntur.
Masih dengan senyumnya, Lingga melirik ke tempat duduk Kevin. Ia terlihat sinis terhadap Lingga. Kevin selalu bersaing dengannya dalam hal ‘mengejar nilai’ padahal Lingga tidak pernah mengejar nilai.
Kini Lingga dan teman-temannya makin dekat. Apalagi dengan Sekar, ia sering bercerita banyak.
“Memangnya kenapa kau sungguh ingin dapat beasiswa?”, tanya Lingga suatu hari di taman sekolah.
“Aku ingin meringankan beban orangtua. Ayahku pekerja tak tetap sedangkan Ibuku hanya Ibu rumah tangga.”, jawab Sekar sambil memikirkan kondisi keluarganya.
“Oh.. jadi kau sekolah hanya ingin dapat beasiswa. Ehm..maksudku hanya untuk mengejar nilai tinggi?”, tanya Lingga yang makin penasaran.
“Hem.. sepertinya begitu, tapi...”
“Kau tidak akan dapat apa-apa di masa depan nanti.”, Lingga memotong.
“Apa maksudmu??”, tanya Sekar penasaran, tadinya ia ingin marah karena Lingga memotong pembicaraannya.
“Ya, buat apa mencari ilmu hanya karena ingin nilai tinggi. Berarti selama ini kau hanya mengejar nilai??”
Baru saja Sekar ingin menjawab, Lingga mengoceh lagi, “Kau harus merubah itu. Sekolah itu gunanya untuk mencari ilmu, untuk kehidupan kita nanti di masa depan, bukan untuk mencari nilai belaka. Jika hanya mengejar nilai, ilmu yang akan kita dapatkan tidak akan bertahan lama. Sama seperti menghafal pelajaran, belum mencapai seminggu sudah lupa lagi.”
Sekar merenung..
“Tapi anak-anak lain juga melakukan hal seperti itu.”, bela Sekar.
“Kau jangan mengikuti yang lain! Ikutilah diri sendiri, berusahalah menggapai cita-citamu. Dan kuasai ilmunya. Nikmatilah ilmu pengetahuan, bila hanya mengejar nilai, kita tidak akan bisa menikmati indahnya ilmu pengetahuan.”, ucapan Lingga makin meluas.
“Kau boleh meginginkan beasiswa, tapi jangan pernah mengejar nilai! Beasiswa merupakan suatu kesuksesan belajar. Kau cukup memahami pelajaran, pahami ilmunya, jangan pernah menghafalkan pelajaran, maka kesuksesan akan mencarimu..”, jelas Lingga lagi. Ia merawang jauh ke depan sehingga bisa merangkai kata-kata yang panjangnya mengalahkan kereta api itu.
Sekar merenung, perkataan Lingga tadi benar. Dengan memahami pelajaran, ilmu yang akan kita dapatkan akan bertahan lama karena kita sudah menguasainya.
Baru saja Sekar ingin mengucapkan ‘Terima kasih’, bel sudah bernyanyi lagi..
Ada satu hal yang Lingga pikirkan. Mengapa Kevin bisa mendapat rank 1 padahal ia jarang sekali mengerjakan tugas. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan Kevin. Ia memang anak orang berada, jadi ia mungkin saja me...
Ah! Mengapa Lingga berpikiran buruk seperti itu??
Bila itu benar, mengapa pihak sekolah berbuat seperti itu? Padahal itu sekolah favorit.
Lingga jadi bertanya-tanya sendiri. Ia sedang berjalan sendirian. Ia tidak menyadari bahwa ia ada di depan ruang guru.
“Kami hanya punya sedikit, Pak. Mohon bantuannya ya, Pak.”, Lingga secara tidak sengaja mendengar percakapan antara orangtua dengan Pak Guntur. Ia mengumpat di balik tembok dan mendengar percakapan selanjutnya.
Lingga kaget, ia tidak menyangka akan pendengarannya. Tiba-tiba Kevin muncul dibelakangnya..
“Ngapain lu?”, tanyanya sinis. Kevin menyeret Lingga menuju ke belakang sekolah. Ia melihat Lingga nguping di balik tembok depan ruang guru tadi.
Lingga bingung. Ia hanya diam. Kevin bertanya padanya dengan melotot, “Dengar apa aja lu tadi?!”
“Tadi gue gak sengaja denger ta...”
BOOKK!! Sebuah bogem mentah mendarat di perut Lingga. Lingga kaget sekali, ia tidak menyangka Kevin akan berbuat seperti itu. Perutnya mual dan ingin muntah, rasanya semua isi perutnya ingin ia muntahkan.
Sekar dan beberapa teman lainnya melihat kejadian itu, mereka ingin melerai.
Lingga terpancing untuk marah, ia balik menarik kerah kemeja Kevin dan...
“Hey! Sedang apa kalian?!”, teriak Pak Guntur yang tiba-tiba datang. Padahal Lingga sudah menyiapkan bogemnya untuk Kevin. Dan Pak Guntur melihatnya.
Mereka berdua kaget. Kevin memelas, “Pak, dia ingin memukul saya! Apa salah saya?! Tiba-tiba saja dia mengajak saya ke sini sambil marah-marah. Untung saja bapak segera datang.”, katanya sambil membetulkan kerah kemejanya. Ketakutannya dibuat-buat.
Kevin menjauh dari Lingga. Lingga tidak bisa bicara apa-apa, dia sungguh-sungguh tidak menyangka akan seperti ini. Padahal bukan ia yang mengajak Kevin ke sini. Lingga ingin sekali menceritakan yang sebenarnya..
“Lingga! Kevin! Ikut saya ke ruang KEPALA SEKOLAH sekarang!!”, teriak Pak Guntur sambil menarik telinga Lingga dan Kevin.
“Saya betul-betul tidak melakukan hal itu, Pak!”, kata Lingga membela kebenaran. Tapi Pak Guntur berkata, “Saya melihat Lingga yang ingin memukul Kevin.”
Lingga kaget luar biasa, ternyata perkataannya tidak dipercaya oleh orang-orang. Ini merupakan kesempatan Pak Guntur untuk membalas Lingga yang telah mempermalukannya beberapa hari lalu di depan anak-anak. Guru itu memang licik! Padahal ia tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya, ia memilih menuduh Lingga.
Lingga pasrah, tidak ada saksi atas kejadian tadi. Ia diskor selama 2 minggu.
“Saya punya bukti yang kuat mengenai kejadian itu, Pak.”, kata Sekar sambil mengeluarkan rekaman video yang ia rekam saat Lingga dan Kevin berada di belakang sekolah. Tapi ia tidak merekam saat Lingga menarik kerah Kevin.
Kini terbukti Kevinlah yang memulai pertarungan. Orangtua Kevin dipanggil Kepala Sekolah. Sekarang, pihak sekolah percaya akan perkataan Lingga.
Tentang kejadian di ruang guru itu.. ya! Lingga juga menceritakannya pada Kepala Sekolah. Pihak Sekolah sama sekali tidak mengetahui kejadian itu, mereka bahkan tidak yakin bahwa Pak Guntur yang disiplin itu menerima amplop dari orangtua Kevin.
Pihak Sekolah berusaha mencari kebenarannya.
Akhirnya Pak Guntur di keluarkan dari sekolah..
Maka dari itu, jangan sekali-kali membuat pelanggaran di sekolah tersebut. Akibatnya sangat fatal!
Ulangan Fisika kali ini, Sekar mendapat nilai 100. Pak Guru Fisika yang baru memberinya hadiah berupa...
“Sekar! Bangun, tidak sekolahkah kau?”, Ibu membangunkannya.
“Uhm..”, Sekar masih pusing. “Hah?? Mana hadiahnya??”, Sekar terlonjak girang.
“Eeh.. kau mimpi, ya? Ayo cepat mandi. Sudah pukul berapa ini..”
‘Ah? Ternyata itu semua hanya mimpi’, benaknya. Sekar bergegas mandi.
Saat sampai di sekolahpun ia masih mengingat mimpinya tadi. Bel bernyanyi.. Anak-anak duduk di tempatnya masing-masing. Ketika Pak Guru wali kelas masuk..
“Hari ini kita kedatangan teman baru yang akan bersekolah di sini. Ayo perkenalkan namamu..”, kata Pak Guru baik.
“Teman-teman, perkenalkan.. Nama saya Lingga...”
Belum selesai anak baru itu memperkenalkan dirinya, Sekar terlonjak kaget luar biasa. Anak baru itu wajahnya sama persis seperti Lingga dalam mimpi Sekar, namanya juga sama!
Dalam mimpinya saat ia ada di taman, ia tiba-tiba ingat sesuatu yang ingin ia ucapkan.
Sekar berteriak histeris padanya, “Linggaaaa!! Terima kasih ya!”
Langganan:
Postingan (Atom)